BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Malaria
2.1.1 Pengertian
Malaria adalah penyakit yang bersifat akut maupun kronik disebabkan oleh protozoa genus plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali (Mansjoer dkk., 2001).
Malaria adalah sejenis penyakit menular yang dalam manusia sekitar 350-500 juta orang terinfeksi dan lebih dari 1 juta kematian setiap tahun, terutama di daerah tropis dan di Afrika di bawah gurun Sahara (Wikipedia, 2002).
2.1.2 Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Pada manusia plasmodium terdiri dari empat spesies, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium malariae, dan plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu plasmodium falciparum yang meyebabkan malaria tropika, plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale (Soedarmo, dkk., 2008).
Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopheles betina yang sebelumnya terinfeksi. Pada keadaan lain, malaria berkembang pasca-penularan transplasenta atau sesudah transfusi darah yang terinfeksi. Masa inkubasi (antara gigitan nyamuk yang terinfeksi dan adanya parasit dalam darah) bervariasi sesuai dengan spesies; pada P. falciparum masa inkubasinya 10 – 13; pada P.vivaks dan P. ovale, 12 – 16 hari; dan pada P. malariae 27 – 37 hari, tergantung pada ukuran inokulum. Malaria yang ditularkan melalui tranfusi darah yang terinfeksi nampak nyata pada waktu yang lebih pendek (Nelson, 2000).
Dalam daur hidupnya plasmodium mempunyai hospes yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual di dalam hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk kemudian menempati jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai skizon (stadium ekso-eritrositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit (Soedarmo, dkk., 2008).
Plasmodium falciparum hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan spesies lain mempunyai hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah proses pembelahan eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar dan berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosis oleh RES. Plasmodium yang dapat meghindar akan masuk kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik (Soedarmo, dkk., 2008).
Dalam tubuh nyamuk, parasit berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookinet, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan dilepaskan dan masuk ke dalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa tunas ektrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.3 Transmisi
Soedarmo, dkk. (2008) memaparkan, malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu cara alamiah dan bukan alamiah.
1. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk Anopheles
2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu :
a. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain plasenta penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat.
b. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah.
c. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (plasmodium gallinasium), burung dara (plasmodium relection) dan monyet (plasmodium knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
2.1.4 Klasifikasi malaria
Menurut Harijanto (2000) klasifikasi malaria berdasarkan jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut :
1. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum).
Malaria tropika/ falciparum merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin).
Malaria falciparum dikelompokkan atas dua kelompok yaitu Malaria falciparum tanpa komplikasi yang digolongkan sebagai malaria ringan adalah penyakit malaria yang disebabkan Plasmodium falciparum dengan tanda klinis ringan terutama sakit kepala, demam, menggigil, dan mual tanpa disertai kelainan fungsi organ. Sedangkan malaria falciparum dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi.
Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika:
Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).
2. Malaria Kwartana (Plasmodium Malariae)
Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.
3. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae, skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walaupun periode laten sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walaupun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.
4. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.
2.1.5 Patogenesis dan Patologi
Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti membran dan isi-isi sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam sistem retikuloendotelitial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah (Soedarmo, dkk., 2008).
Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia, menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever, yaitu bentuk anemia hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi (Soedarmo, dkk., 2008).
Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa didaerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.6 Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang palig mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa (Soedarmo, dkk., 2008).
Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama penting untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang-biaknya parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan eritrosit (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.7 Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselilingi oleh suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemas, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus-menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinis minimal.
Tanda dan gejala yang di temukan pada klien dngan malaria secara umum menurut Mansjoer dkk. (2001) antara lain sebagai berikut :
1. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporolasi). Pada Malaria Tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan Malaria Kuartana (P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan di tandai dengan beberapa serangan demam periodik.
Gejala umum (gejala klasik) yaitu terjadinya “Trias Malaria” (malaria proxysm) secara berurutan :
a. Periode dingin.
Mulai menggigil, kulit kering dan dingin, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
b. Periode panas.
Muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tetap tinggi sampai 40C atau lebih, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
c. Periode berkeringat.
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah, temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
2. Splenomegali
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah.
3. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan, eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time), dan gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang.
4. Ikterus
Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit dan sklera mata akibat kelebihan billirubin dalam darah. Billirubin adalah produk penguraian sel darah merah. Terdapat tiga jenis ikterus antara lain :
a. Ikterus hemolitik, disebabkan oleh lisisnya (penguraian) sel darah merah yang berlebihan. Ikterus ini dapat terjadi pada destruksi sel darah merah yang berlebihan dan hati dapat mengkonjugasikan semua billirubin yang di hasilkan.
b. Ikterus hepatoseluler, penurunan penyerapan dan konjugasi billirubin oleh hati terjadi pada disfungsi hepatosit dan di sebut dengan hepatoseluler.
c. Ikterus Obstruktif, sumbatan terhadap aliran darah ke empedu keluar hati atau melalui duktus biliaris di sebut dengan ikterus obstuktif.
Malaria laten adalah masa pasien diluar masa serangan demam. Periode ini terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.
Relaps adalah timbulnya gejala infeksi setelah serangan pertama. Relaps dapat bersifat :
a. Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan pertama hilang karena parasit dalam eritrosit yang berkembang biak.
b. Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah setelah serangan pertama hilang karena parasit eksoeritrosit hati masuk ke darah dan berkembang biak.
2.1.8 Komplikasi
Harijanto (2006), mengemukakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari malaria yaitu :
1. Malaria serebral
2. Anemia berat
3. Gagal Ginjal Akut (urin <400>3mg%)
4. Edema paru atau ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)
5. Hipoglikemia, kadar gula darah <40mg%
6. Gagal sirkulasi atau syok
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus, dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2x dalam 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia.
9. Makroskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat anti malaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (G6PD)
2.1.9 Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostik cepat (Depkes RI, 2006).
Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala serta tanda klinis. Tetapi walaupun di daerah bukan endemis malaria, diagnosis banding malaria harus dipikirkan pada riwayat demam tinggi berulang, apalagi disertai gejala trias yaitu demam, splenomegali, dan anemia. Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil pertimbangan klinis dan tidak selalu disertai hasil laboratorium oleh karena beberapa kendala pada pemeriksaan laboratorium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan seorang anak penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak selalu harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak berobat untuk penyakit lain (Soedarmo, dkk., 2008).
Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tetes tebal merupakan metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi dapat dijumpai trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar ureum, kreatinin, bilirubin dan enzim seperti aminotransferase dan 5’-nukleotidase. Pada penderita malaria berat yang mengalami asidosis, dijumpai pH darah dan kadar bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat dalam darah dan likuor serebrospinal juga meningkat (Soedarmo, dkk., 2008).
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect fluorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk studi epidemiologi (Soedarmo, dkk., 2008).
Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di bawah mikroskopis fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe untuk mendeteksi antigen (Soedarmo, dkk., 2008).
Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan dengan demam oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis, gastroenteritis, atau hepatitis. Malaria dengan klinis yang lebih ringan, harus dibedakan dengan atau penyakit virus lainnya (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.10 Pengobatan
Dalam pengobatan malaria, faktor pilihan dan penggunaan obat-obat antimalaria yang efektif disesuaikan dengan jenis kasus malaria yang dihadapi merupakan hal yang sangat penting. Di samping itu, tidak kalah penting adalah pengobatan penunjang, yang diperlukan untuk memperbaiki gangguan patofisiologi penderita sebagai komplikasi malaria yang berat, misalnya perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit, keseimbangan asam-basa, mengatasi anemia, kejang, hiperpireksia, hipoglikemi, muntah, dan kegagalan fungsi ginjal (Usman, 2009).
Mansjoer dkk. (2001) mengemukakan berdasarkan suseptibilitas berbagai macam stadium parasit malaria terhadap obat antimalaria, maka obat antimalaria dapat juga dibagi dalam 5 golongan yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer yang dapat membasmi parasit stadium praeritrosit dalam hati sehingga mencegah parasit masuk dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai obat profilaksis kausal, yaitu pirimetamin.
2. Skizontisida jaringan sekunder yang dapat membunuh parasit siklus eksoeritrosit P. vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps, yaitu primakuin.
3. Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrosit, yang berhubungan dengan penyakit akut disertai gejala klinik.
Obat ini digunakan untuk pengobatan supresif bagi keempat spesies Plasmodium dan juga dapat membunuh stadium gametosit P. vivax, P. malariae dan P. ovale, tetapi tidak efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah kuinin, klorokuin atau amodiakuin; atau proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4. Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida untuk keempat spesies dan kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai gametositosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale.
5. Sporontosida yang dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat – obat yang termasuk golongan ini adalah primakuin dan proguanil.
Obat yang dipakai untuk pengobatan malaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina, pirimetamin, dan sulfadoksin (Soedarmo, dkk., 2008). Harijanto (2000) mengemukakan, obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivat artemisin.
1. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria.
2. Sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria falciparum tanpa komplikasi.
3. Kina merupakan obat antimalaria pilihan untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi.
4. Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat.
5. Artemisin digunakan untuk pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrug.
Soedarmo, dkk. (2008) menjelaskan pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan dan malaria berat (disertai komplikasi).
A. Malaria ringan tanpa komplikasi
Malaria ringan tanpa komplikasi dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan atau rawat inap sebagai berikut :
1. Klorokuin basa diberikan total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai berikut : hari pertama 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa), 6 jam kemudian dilanjutkan 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa) dan 5 mg/kgBB pada 24 jam (maksimal 300 mg basa). Atau hari I dan II masing-masing 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB. Pada malaria tropika ditambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB, 1 hari. Pada malaria tersiana ditambahkan primakuin 0,25 mg/kgBB/hari, 14 hari.
2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari IV masih demam atau hari VIII masih dijumpai parasit dalam darah maka diberikan:
a. Kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7 hari atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1-1,5 mg/kgBB atau sulfadoksin 20-30 mg/kgBB single dose (usia diatas 6 bulan). Obat ini tidak digunakan pada malaria tersiana.
3. Bila dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII masih dijumpai parasit maka diberikan :
a. Tetrasiklin HCl 50 mg/kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7 hari + fansidar/suldox bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2a, atau:
b. Tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2b. Dosis kina dan fansidar/suldox sesuai butir 2a dan 2b (Tetrasiklin hanya diberikan pada umur 8 tahu atau lebih)
Obat Anti Malaria yang Masih Sangat Terbatas di Indonesia
1. Meflokuin
Tablet 274 mg meflokuin hidroklorida mengandung 250 mg meflokuin basa. Dosis untuk anak 15 mg meflokuin basa/kgBB, dosis tunggal, sebaiknya sesudah makan.
2. Halofantrin
Tablet 250 mg halofantrin hidroklorida mengandung 233 mg basa, sedangkan sirup tiap ml mengandung 100 mg halofantrin hidroklorida setara 93,2 mg basa. Dosis 24 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, yaitu 8 mg/kgBB tiap 8 jam dan diulang dengan dosis yang sama 1 minggu kemudian. Absorpsinya baik bila dimakan bersama makanan berlemak.
3. Artemisinin
Tablet/kapsul 250 mg. Dosis 10 mg/kgBB, sekali sehari selama 5 hari, untuk hari pertama diberikan dua dosis.
Pada saat ini sudah lebih dari 25 % provinsi di Indonesia telah terjadi multiresistensi terhadap obat standard yang cukup tinggi. Oleh karena itu Komisi Ahli Malaria (KOMLI) menganjurkan strategi baru pengobatan malaria pada daerah-daerah tersebut dan sesuai dengan rekomendasi WHO untuk secara global menggunakan obat artemisinin yang dikombinasi dengan obat lain. Pengobatan tersebut dikenal sebagai Artemisinin based Combination Therapy (ACT) (Soedarmo, dkk., 2008).
Derivat artemisinin:
1. Artesunat:
a. Tablet/kapsul 50 mg/200 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan IM/IV; ampul 60 mg/ampul. Dosis 1,2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
2. Artemether:
a. Tablet/kapsul 40 mg/50mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan: ampul 80 mg/ampul. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
3. Dehidroartemisinin:
Tablet/kapsul 20 mg/60 mg/ 80 mg. dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 4 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
4. Arheether:
Suntikan 150 mg/ampul, dalam bentuk Ī²-artheether (artenotil). Dosis pertama 4,8 mg/kgBB, 6 jam kemudian 1,6 mg/kgBB, selanjutnya 1,6 mg/kgBB tiap hari- selama 4 hari.
Obat malaria kombinasi (ACT) yang tidak tetap saat ini misalnya :
1. Artesunat + Meflokuin
2. Artesunat + Amodiakuin
3. Artesunat + Klorokuin
4. Artesunat + Sulfadoksin-Pirimetamin
5. Artesunat + Pironoridin
6. Artesunat + Klorguanil-Dapson (CDA/Lapdap plus)
7. Dehidroartemisinin+ Piperakuin + Trimetoprim (Artecom)
8. Artecom + Primakuin (CVB)
9. Dehidroartemisinin + Naphtrokuin
Dari kombinasi tersebut diatas, yang tersedia di Indonesia saat ini adalah kombinasi artesunat + amodiakuin dengan nama dagang artesdiaquin atau artesumoon. Obat ini tersedia untuk program dan telah diedarkan di 10 provinsi yang terdapat resistensi tinggi (>25%) terhadap obat klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Dosis artesdiaquin merupakan gabungan artesunat 2 mg/kgBB sekali sehari selama 3 hari, untuk hari pertama diberi 2 dosis dan amodiakuin hari I dan II 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB.
Untuk pemakaian obat golongan artemisinin harus dibuktikan malaria positif, sedangkan bila hanya klinis malaria digunakan obat non-ACT.
Pemantauan Respon Pengobatan
Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk mendeteksi pengobatan malaria secara dini berdasarkan respon klinis dan pemeriksaan patologis. Dikatakan gagal pengobatan bila dijumpai salah satu criteria berikut :
1. Kegagalan pengobatan dini, bila :
a. Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1,2,3.
b. Parasitemia hari ke 2 > hari 0.
c. Parasitemia hari ke 3 (>25 % dari hari 0)
d. Parasitemia hari ke 3 dengan suhu aksila > 37,5 C
2. Kegagalan pengobatan kasep, bila antara hari ke 4-28 dijumpai 1 atau lebih keadaan berikut :
a. Secara klinis dan parasitologi :
a) Adanya malaria berat setelah hari ke 3 dan parasitemia, atau
b) Parasitemia dan suhu aksila > 37,5 C pada hari ke 4-28 tanpa ada kriteria gagal pengobatan dini.
b. Secara parasitologi :
a) Adanya parasitemia pada hari ke 7, 14, 21, dan 28.
b) Suhu aksila < 37,5 C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini.
3. Respon klinis dan parasitologi memadai, apabila pasien sebelumnya tidak berkembang menjadi kegagalan butir no.1 atau 2 dan tidak ada parasitemia.
B. Malaria Berat
Penatalaksanaan malaria berat harus dapat dilakukan diagnosis dan tindakan secara cepat dan tepat sebagai berikut:
1. Tindakan umum/perawatan
2. Pemberian obat antimalaria/transfuse tukar
3. Pemberian cairan/nutrisi
4. Penanganan terhadap gangguan fungsi organ
Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif :
1. Pertahankan fungsi vital:sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi
2. Hindari trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
3. Monitoring: suhu tubuh, nadi, tensi tiap ½ jam. Awasi ikterus dan perdarahan
4. Posisi tidur sesuai kebutuhan
5. Perhatikan warna dan suhu kulit
6. Cegah hiperpireksi
7. Pemberian cairan: oral, sonde, infus
8. Diet porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam
9. Perhatikan kebersihan rambut
10. Perhatikan dieresis dan defekasi, aseptic kateterisasi
2.1.11 Pencegahan
Dalam upaya pemberantasan penyakit malaria, Usman (2009) memaparkan berapa langkah dalam pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yang berakibat infeksi dan sebelum berlanjut ke pengobatan, antara lain:
1. Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup pestisida : pemethrin atau deltamethrin)
2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk
3. Mencegah berada di alam bebas di mana nyamuk dapat mengigit atau harus memakai proteksi (baju dengan lengan panjang, kaus/stoking). Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00-06.00.
4. Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat/kelambu anti nyamuk.
5. Penyuluhan kesehatan hendaknya diselenggarakan terus-menerus di tingkat desa untuk membimbing masyarakat mengenal malaria, mendorong segera mencari pengobatan bila terserang malaria dan menyadarkan penduduk bahwa penyakit malaria dapat dicegah dan diberantas (Mahyuliansyah, 2009).
6. Peranan dan tanggung jawab masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria perlu ditingkatkan antara lain dalam hal pelaksanaan upaya yang bersifat sederhana misalnya menggalakkan perilaku hidup bersih dan sehat, melaporkan kejadian penyakit malaria secepatnya (Mahyuliansyah, 2009).
Soedarmo, dkk. ( 2008), memaparkan pencegahan malaria sebagai berikut:
1. Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemik malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah endemic malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam), maksimal 300 basa sekali seminggu atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau lebih).
2. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam-stadium pada perjalan penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu:
a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a. Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan menginfeksi manusia, b. Merozoit yang menyerang eritrosit, dan c. Gametosit yang menginfeksi nyamuk;
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit Plasmodium Falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah berhasil, dapat mengurangi mobiditas dan mortalitas malaria tropika terutama pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan rekayasa genetika.
sumber :
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Malaria
2.1.1 Pengertian
Malaria adalah penyakit yang bersifat akut maupun kronik disebabkan oleh protozoa genus plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali (Mansjoer dkk., 2001).
Malaria adalah sejenis penyakit menular yang dalam manusia sekitar 350-500 juta orang terinfeksi dan lebih dari 1 juta kematian setiap tahun, terutama di daerah tropis dan di Afrika di bawah gurun Sahara (Wikipedia, 2002).
2.1.2 Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Pada manusia plasmodium terdiri dari empat spesies, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium malariae, dan plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu plasmodium falciparum yang meyebabkan malaria tropika, plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale (Soedarmo, dkk., 2008).
Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopheles betina yang sebelumnya terinfeksi. Pada keadaan lain, malaria berkembang pasca-penularan transplasenta atau sesudah transfusi darah yang terinfeksi. Masa inkubasi (antara gigitan nyamuk yang terinfeksi dan adanya parasit dalam darah) bervariasi sesuai dengan spesies; pada P. falciparum masa inkubasinya 10 – 13; pada P.vivaks dan P. ovale, 12 – 16 hari; dan pada P. malariae 27 – 37 hari, tergantung pada ukuran inokulum. Malaria yang ditularkan melalui tranfusi darah yang terinfeksi nampak nyata pada waktu yang lebih pendek (Nelson, 2000).
Dalam daur hidupnya plasmodium mempunyai hospes yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual di dalam hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk kemudian menempati jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai skizon (stadium ekso-eritrositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit (Soedarmo, dkk., 2008).
Plasmodium falciparum hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan spesies lain mempunyai hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah proses pembelahan eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar dan berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosis oleh RES. Plasmodium yang dapat meghindar akan masuk kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik (Soedarmo, dkk., 2008).
Dalam tubuh nyamuk, parasit berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookinet, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan dilepaskan dan masuk ke dalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa tunas ektrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.3 Transmisi
Soedarmo, dkk. (2008) memaparkan, malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu cara alamiah dan bukan alamiah.
1. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk Anopheles
2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu :
a. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain plasenta penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat.
b. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah.
c. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (plasmodium gallinasium), burung dara (plasmodium relection) dan monyet (plasmodium knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
2.1.4 Klasifikasi malaria
Menurut Harijanto (2000) klasifikasi malaria berdasarkan jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut :
1. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum).
Malaria tropika/ falciparum merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin).
Malaria falciparum dikelompokkan atas dua kelompok yaitu Malaria falciparum tanpa komplikasi yang digolongkan sebagai malaria ringan adalah penyakit malaria yang disebabkan Plasmodium falciparum dengan tanda klinis ringan terutama sakit kepala, demam, menggigil, dan mual tanpa disertai kelainan fungsi organ. Sedangkan malaria falciparum dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi.
Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika:
Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).
2. Malaria Kwartana (Plasmodium Malariae)
Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.
3. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae, skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walaupun periode laten sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walaupun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.
4. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.
2.1.5 Patogenesis dan Patologi
Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti membran dan isi-isi sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam sistem retikuloendotelitial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah (Soedarmo, dkk., 2008).
Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia, menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever, yaitu bentuk anemia hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi (Soedarmo, dkk., 2008).
Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa didaerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.6 Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang palig mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa (Soedarmo, dkk., 2008).
Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama penting untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang-biaknya parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan eritrosit (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.7 Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselilingi oleh suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemas, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus-menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinis minimal.
Tanda dan gejala yang di temukan pada klien dngan malaria secara umum menurut Mansjoer dkk. (2001) antara lain sebagai berikut :
1. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporolasi). Pada Malaria Tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan Malaria Kuartana (P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan di tandai dengan beberapa serangan demam periodik.
Gejala umum (gejala klasik) yaitu terjadinya “Trias Malaria” (malaria proxysm) secara berurutan :
a. Periode dingin.
Mulai menggigil, kulit kering dan dingin, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
b. Periode panas.
Muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tetap tinggi sampai 40C atau lebih, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
c. Periode berkeringat.
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah, temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
2. Splenomegali
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah.
3. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan, eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time), dan gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang.
4. Ikterus
Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit dan sklera mata akibat kelebihan billirubin dalam darah. Billirubin adalah produk penguraian sel darah merah. Terdapat tiga jenis ikterus antara lain :
a. Ikterus hemolitik, disebabkan oleh lisisnya (penguraian) sel darah merah yang berlebihan. Ikterus ini dapat terjadi pada destruksi sel darah merah yang berlebihan dan hati dapat mengkonjugasikan semua billirubin yang di hasilkan.
b. Ikterus hepatoseluler, penurunan penyerapan dan konjugasi billirubin oleh hati terjadi pada disfungsi hepatosit dan di sebut dengan hepatoseluler.
c. Ikterus Obstruktif, sumbatan terhadap aliran darah ke empedu keluar hati atau melalui duktus biliaris di sebut dengan ikterus obstuktif.
Malaria laten adalah masa pasien diluar masa serangan demam. Periode ini terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.
Relaps adalah timbulnya gejala infeksi setelah serangan pertama. Relaps dapat bersifat :
a. Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan pertama hilang karena parasit dalam eritrosit yang berkembang biak.
b. Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah setelah serangan pertama hilang karena parasit eksoeritrosit hati masuk ke darah dan berkembang biak.
2.1.8 Komplikasi
Harijanto (2006), mengemukakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari malaria yaitu :
1. Malaria serebral
2. Anemia berat
3. Gagal Ginjal Akut (urin <400>3mg%)
4. Edema paru atau ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)
5. Hipoglikemia, kadar gula darah <40mg%
6. Gagal sirkulasi atau syok
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus, dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2x dalam 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia.
9. Makroskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat anti malaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (G6PD)
2.1.9 Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostik cepat (Depkes RI, 2006).
Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala serta tanda klinis. Tetapi walaupun di daerah bukan endemis malaria, diagnosis banding malaria harus dipikirkan pada riwayat demam tinggi berulang, apalagi disertai gejala trias yaitu demam, splenomegali, dan anemia. Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil pertimbangan klinis dan tidak selalu disertai hasil laboratorium oleh karena beberapa kendala pada pemeriksaan laboratorium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan seorang anak penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak selalu harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak berobat untuk penyakit lain (Soedarmo, dkk., 2008).
Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tetes tebal merupakan metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi dapat dijumpai trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar ureum, kreatinin, bilirubin dan enzim seperti aminotransferase dan 5’-nukleotidase. Pada penderita malaria berat yang mengalami asidosis, dijumpai pH darah dan kadar bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat dalam darah dan likuor serebrospinal juga meningkat (Soedarmo, dkk., 2008).
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect fluorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk studi epidemiologi (Soedarmo, dkk., 2008).
Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di bawah mikroskopis fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe untuk mendeteksi antigen (Soedarmo, dkk., 2008).
Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan dengan demam oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis, gastroenteritis, atau hepatitis. Malaria dengan klinis yang lebih ringan, harus dibedakan dengan atau penyakit virus lainnya (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.10 Pengobatan
Dalam pengobatan malaria, faktor pilihan dan penggunaan obat-obat antimalaria yang efektif disesuaikan dengan jenis kasus malaria yang dihadapi merupakan hal yang sangat penting. Di samping itu, tidak kalah penting adalah pengobatan penunjang, yang diperlukan untuk memperbaiki gangguan patofisiologi penderita sebagai komplikasi malaria yang berat, misalnya perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit, keseimbangan asam-basa, mengatasi anemia, kejang, hiperpireksia, hipoglikemi, muntah, dan kegagalan fungsi ginjal (Usman, 2009).
Mansjoer dkk. (2001) mengemukakan berdasarkan suseptibilitas berbagai macam stadium parasit malaria terhadap obat antimalaria, maka obat antimalaria dapat juga dibagi dalam 5 golongan yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer yang dapat membasmi parasit stadium praeritrosit dalam hati sehingga mencegah parasit masuk dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai obat profilaksis kausal, yaitu pirimetamin.
2. Skizontisida jaringan sekunder yang dapat membunuh parasit siklus eksoeritrosit P. vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps, yaitu primakuin.
3. Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrosit, yang berhubungan dengan penyakit akut disertai gejala klinik.
Obat ini digunakan untuk pengobatan supresif bagi keempat spesies Plasmodium dan juga dapat membunuh stadium gametosit P. vivax, P. malariae dan P. ovale, tetapi tidak efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah kuinin, klorokuin atau amodiakuin; atau proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4. Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida untuk keempat spesies dan kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai gametositosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale.
5. Sporontosida yang dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat – obat yang termasuk golongan ini adalah primakuin dan proguanil.
Obat yang dipakai untuk pengobatan malaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina, pirimetamin, dan sulfadoksin (Soedarmo, dkk., 2008). Harijanto (2000) mengemukakan, obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivat artemisin.
1. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria.
2. Sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria falciparum tanpa komplikasi.
3. Kina merupakan obat antimalaria pilihan untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi.
4. Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat.
5. Artemisin digunakan untuk pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrug.
Soedarmo, dkk. (2008) menjelaskan pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan dan malaria berat (disertai komplikasi).
A. Malaria ringan tanpa komplikasi
Malaria ringan tanpa komplikasi dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan atau rawat inap sebagai berikut :
1. Klorokuin basa diberikan total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai berikut : hari pertama 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa), 6 jam kemudian dilanjutkan 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa) dan 5 mg/kgBB pada 24 jam (maksimal 300 mg basa). Atau hari I dan II masing-masing 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB. Pada malaria tropika ditambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB, 1 hari. Pada malaria tersiana ditambahkan primakuin 0,25 mg/kgBB/hari, 14 hari.
2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari IV masih demam atau hari VIII masih dijumpai parasit dalam darah maka diberikan:
a. Kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7 hari atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1-1,5 mg/kgBB atau sulfadoksin 20-30 mg/kgBB single dose (usia diatas 6 bulan). Obat ini tidak digunakan pada malaria tersiana.
3. Bila dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII masih dijumpai parasit maka diberikan :
a. Tetrasiklin HCl 50 mg/kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7 hari + fansidar/suldox bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2a, atau:
b. Tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2b. Dosis kina dan fansidar/suldox sesuai butir 2a dan 2b (Tetrasiklin hanya diberikan pada umur 8 tahu atau lebih)
Obat Anti Malaria yang Masih Sangat Terbatas di Indonesia
1. Meflokuin
Tablet 274 mg meflokuin hidroklorida mengandung 250 mg meflokuin basa. Dosis untuk anak 15 mg meflokuin basa/kgBB, dosis tunggal, sebaiknya sesudah makan.
2. Halofantrin
Tablet 250 mg halofantrin hidroklorida mengandung 233 mg basa, sedangkan sirup tiap ml mengandung 100 mg halofantrin hidroklorida setara 93,2 mg basa. Dosis 24 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, yaitu 8 mg/kgBB tiap 8 jam dan diulang dengan dosis yang sama 1 minggu kemudian. Absorpsinya baik bila dimakan bersama makanan berlemak.
3. Artemisinin
Tablet/kapsul 250 mg. Dosis 10 mg/kgBB, sekali sehari selama 5 hari, untuk hari pertama diberikan dua dosis.
Pada saat ini sudah lebih dari 25 % provinsi di Indonesia telah terjadi multiresistensi terhadap obat standard yang cukup tinggi. Oleh karena itu Komisi Ahli Malaria (KOMLI) menganjurkan strategi baru pengobatan malaria pada daerah-daerah tersebut dan sesuai dengan rekomendasi WHO untuk secara global menggunakan obat artemisinin yang dikombinasi dengan obat lain. Pengobatan tersebut dikenal sebagai Artemisinin based Combination Therapy (ACT) (Soedarmo, dkk., 2008).
Derivat artemisinin:
1. Artesunat:
a. Tablet/kapsul 50 mg/200 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan IM/IV; ampul 60 mg/ampul. Dosis 1,2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
2. Artemether:
a. Tablet/kapsul 40 mg/50mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan: ampul 80 mg/ampul. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
3. Dehidroartemisinin:
Tablet/kapsul 20 mg/60 mg/ 80 mg. dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 4 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
4. Arheether:
Suntikan 150 mg/ampul, dalam bentuk Ī²-artheether (artenotil). Dosis pertama 4,8 mg/kgBB, 6 jam kemudian 1,6 mg/kgBB, selanjutnya 1,6 mg/kgBB tiap hari- selama 4 hari.
Obat malaria kombinasi (ACT) yang tidak tetap saat ini misalnya :
1. Artesunat + Meflokuin
2. Artesunat + Amodiakuin
3. Artesunat + Klorokuin
4. Artesunat + Sulfadoksin-Pirimetamin
5. Artesunat + Pironoridin
6. Artesunat + Klorguanil-Dapson (CDA/Lapdap plus)
7. Dehidroartemisinin+ Piperakuin + Trimetoprim (Artecom)
8. Artecom + Primakuin (CVB)
9. Dehidroartemisinin + Naphtrokuin
Dari kombinasi tersebut diatas, yang tersedia di Indonesia saat ini adalah kombinasi artesunat + amodiakuin dengan nama dagang artesdiaquin atau artesumoon. Obat ini tersedia untuk program dan telah diedarkan di 10 provinsi yang terdapat resistensi tinggi (>25%) terhadap obat klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Dosis artesdiaquin merupakan gabungan artesunat 2 mg/kgBB sekali sehari selama 3 hari, untuk hari pertama diberi 2 dosis dan amodiakuin hari I dan II 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB.
Untuk pemakaian obat golongan artemisinin harus dibuktikan malaria positif, sedangkan bila hanya klinis malaria digunakan obat non-ACT.
Pemantauan Respon Pengobatan
Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk mendeteksi pengobatan malaria secara dini berdasarkan respon klinis dan pemeriksaan patologis. Dikatakan gagal pengobatan bila dijumpai salah satu criteria berikut :
1. Kegagalan pengobatan dini, bila :
a. Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1,2,3.
b. Parasitemia hari ke 2 > hari 0.
c. Parasitemia hari ke 3 (>25 % dari hari 0)
d. Parasitemia hari ke 3 dengan suhu aksila > 37,5 C
2. Kegagalan pengobatan kasep, bila antara hari ke 4-28 dijumpai 1 atau lebih keadaan berikut :
a. Secara klinis dan parasitologi :
a) Adanya malaria berat setelah hari ke 3 dan parasitemia, atau
b) Parasitemia dan suhu aksila > 37,5 C pada hari ke 4-28 tanpa ada kriteria gagal pengobatan dini.
b. Secara parasitologi :
a) Adanya parasitemia pada hari ke 7, 14, 21, dan 28.
b) Suhu aksila < 37,5 C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini.
3. Respon klinis dan parasitologi memadai, apabila pasien sebelumnya tidak berkembang menjadi kegagalan butir no.1 atau 2 dan tidak ada parasitemia.
B. Malaria Berat
Penatalaksanaan malaria berat harus dapat dilakukan diagnosis dan tindakan secara cepat dan tepat sebagai berikut:
1. Tindakan umum/perawatan
2. Pemberian obat antimalaria/transfuse tukar
3. Pemberian cairan/nutrisi
4. Penanganan terhadap gangguan fungsi organ
Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif :
1. Pertahankan fungsi vital:sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi
2. Hindari trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
3. Monitoring: suhu tubuh, nadi, tensi tiap ½ jam. Awasi ikterus dan perdarahan
4. Posisi tidur sesuai kebutuhan
5. Perhatikan warna dan suhu kulit
6. Cegah hiperpireksi
7. Pemberian cairan: oral, sonde, infus
8. Diet porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam
9. Perhatikan kebersihan rambut
10. Perhatikan dieresis dan defekasi, aseptic kateterisasi
2.1.11 Pencegahan
Dalam upaya pemberantasan penyakit malaria, Usman (2009) memaparkan berapa langkah dalam pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yang berakibat infeksi dan sebelum berlanjut ke pengobatan, antara lain:
1. Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup pestisida : pemethrin atau deltamethrin)
2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk
3. Mencegah berada di alam bebas di mana nyamuk dapat mengigit atau harus memakai proteksi (baju dengan lengan panjang, kaus/stoking). Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00-06.00.
4. Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat/kelambu anti nyamuk.
5. Penyuluhan kesehatan hendaknya diselenggarakan terus-menerus di tingkat desa untuk membimbing masyarakat mengenal malaria, mendorong segera mencari pengobatan bila terserang malaria dan menyadarkan penduduk bahwa penyakit malaria dapat dicegah dan diberantas (Mahyuliansyah, 2009).
6. Peranan dan tanggung jawab masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria perlu ditingkatkan antara lain dalam hal pelaksanaan upaya yang bersifat sederhana misalnya menggalakkan perilaku hidup bersih dan sehat, melaporkan kejadian penyakit malaria secepatnya (Mahyuliansyah, 2009).
Soedarmo, dkk. ( 2008), memaparkan pencegahan malaria sebagai berikut:
1. Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemik malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah endemic malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam), maksimal 300 basa sekali seminggu atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau lebih).
2. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam-stadium pada perjalan penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu:
a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a. Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan menginfeksi manusia, b. Merozoit yang menyerang eritrosit, dan c. Gametosit yang menginfeksi nyamuk;
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit Plasmodium Falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah berhasil, dapat mengurangi mobiditas dan mortalitas malaria tropika terutama pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan rekayasa genetika.
sumber :
- Hidayat, Alimul Aziz. A. 2008. Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
- Nelson, Waldo E. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 vol. 2. Jakarta: EGC
- Soedarmo, dkk. 2009. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
- http://filekebidanan.blogspot.com/2010/03/landasan-teori-malaria-pada-anak.html