ANTHRAX

I. SINONIM

(radang limpa, malignant pustule, woolsorters` disease, miltvuur, malignant edema, ragpicker disease). (Anon. 2000)

Penyakit anthrax mempunyai potensi sangat besar untuk menular dari hewan kepada manusia (zoonosis), terutama daerah yang tergolong kurang subur dan tingkat pendidikan masyarakatnya masih relatif rendah. Pemotongan ternak sakit di luar Rumah Pemotongan Hewan (RPH) , tanpa pengawasan petugas, sering menimbulkan kejadian luar biasa ( wabah ) anthrax. (Soeharsono. 2002)

II. ETIOLOGI

Morfologi

Penyebab penyakit anthrax adalah bakteri berbentuk batang, berukuran 1-1,5 mikron kali 3-8 mikron, bersifat aerobic, nonmotil, gram positif yang disebut Bacillus antrachis. Apabila spesimen ini diambil dari hewan sakit, bakteri berbentuk rantai pendek dikelilingi oleh kapsul yang terlihat jelas.

(Bacillus antrachis ditemukan di dalam otak)

Bentuk vegetatif Bacillus antrachis yang ada di dalam tubuh hewan relatif tidak dapat tahan lama dalam berkompetisi dengan bakteri pembusuk. Apabila terjadi kontak dengan udara (oksigen), bakteri ini akan membentuk spora yang amat tahan terhadap pengaruh lingkungan. Oleh karena itu , setiap hewan yang mati dengan dugaan anthrax tidak boleh dilakukan autopsi.

Spora anthrax dapat bertahan selama 60 tahun di dalam tanah kering. Spora juga tahan dalam waktu yang lama di debu, kapas, bulu, kulit, serbuk tulang, pakaian , dsb. (Soeharsono.2002)

Spora dibentuk di tanah, jaringan/binatang mati dan tidak terbentuk di jaringan dan darah binatang hidup. Spora yang merupakan endospora tahan terhadap pengaruh lingkungan. Diameter endospora berkisar 1-2 mikrometer, sehingga sukar tersaring oleh mekanisme penyaringan di saluran pernafasan atas. Dalam tanah, spora dapat bertahan puluhan tahun. Spora antrax tahan terhadap pengaruh panas, sinar ultraviolet dan beberapa desinfektan. Endospora dapat dimatikan dengan cara autoclave pada suhu 120° C selama 15 menit. Bentuk vegetatifnya mudah dimatikan pada suhu 54° C selama 30 menit. Bakteri mudah ditumbuhkan pada berbagai media.

Untuk mendapatkan koloni yang karakteristik, bakteri sebaiknya ditumbuhkan pada media yang mengandung darah tanpa antibiotika. Bakteri tumbuh subur pada pH media 7.0 – 7.4 dengan lingkungan aerob. Suhu pertumbuhan berkisar antara 12 – 45°C tetapi suhu optimumnya 37°C. Setelah masa inkubasi 24 jam, koloni kuman tampak sebagai koloni yang besar, kompak, putih-keabu-abuan dengan tepi tak beraturan. Di bawah mikroskop, koloni tersusun seperti susunan rambut sehingga sering disebut sebagai bentuk kaput medusa. Koloni bakteri bersifat sticky sehingga jika diangkat akan membentuk formasi seperti stalaktit (beaten egg-whites appearance). Jika bakteri ditumbuhkan selama 3 – 6 jam pada suhu 37°C pada media yang mengandung penisilin pada kadar 0.05 – 0.5 unit /ml , maka secara mikroskopik akan terbentuk sferis besar dalam bentuk rantai (fenomena string of pearls). bakteri antrax tidak menyebabkan hemolisis darah domba dan reaksi katalasenya positif. Bakteri mampu meragi glukosa dan menghidrolisa gelatin tetapi tidak meragi manitol, arabinosa dan xilosa. Karena menghasilkan lesitinase, maka bakteri yang ditumbuhkan pada media EYA (Egg-Yolk Agar) akan membentuk zona kompak. (Agus Sjahrurachman. Cermin dunia kedokteran.2007.)

Faktor predisposisi kejadian penyakit seperti musim panas, kekurangan makanan dan keletihan mempermudah timbulnya penyakit pada hewan yang mengandung spora bersifat laten .

Umumnya, Bacillus antrachis amat pathogen, namun pernah pula dilaporkan penemuan isolat Bacillus antrachis yang kurang pathogen dari seekor kuda.

( Djaenuddin dan Soetikno, 1960).

Dalam sel bakteri anthrax juga terdapat eksotoksin kompleks yang terdiri atas Protective Ag (PA), Lethal factor (LF), dan Oedema factor (EF).peran ketiganya itu terlihat sekali dalam menimbulkan gejala penyakit anthrax. Tepatnya, ketiga komponen dari eksotoksin itu berperan bersama – sama. Protective Ag berfungsi untuk mengikat reseptor dan selanjutnya Lethal factor. Sedangkan odema factor akan memasuki sistem sel dari bakteri. Odema factor merupakan adenilsiklase yang mampu meningkatkan cAMP sitoplasma sel, sedangkan fungsi spesifik dari lethal factor masih belum diketahui.

Pertahanan hidup

Dalam mempertahankan siklus hidupnya, Bacillus anthracis membentuk dua sistem pertahanan, yaitu kapsul dan spora. Dua bentuk inilah, terutama spora yang menyebabkan Bacillus anthracis dapat bertahan hidup hingga puluhan tahun lamanya.

Sedangkan kapsul merupakan suatu lapisan tipis yang menyelubungi dinding luar dari bakteri. Kapsul ini terdiri atas polipeptida berbobot molekul tinggi yang mengandung asam D – Glutamat an merupakan suatu hapten. Bacillus anthracis dapat membentuk kapsul pada rantai yang berderet. Pada media biasa rantai tidak terbentuk kecuali pada Bacillus anthracis yang ganas.

Lebih jauh, bakteri ini akan membentuk kapsul dengan baik jika terdapat pada jaringan hewan yang mati atau pada media khusus yang mengandung natrium bikarbonat dengan konsentrasi karbondioksida (CO2) 5%. Kapsul inilah yang berperan dalam penghambatan fagositosis oleh sistem imun tubuh, dan juga dapat menentukan derajat keganasan atau virulensi bakteri.

Selain itu, Bacillus anthracis juga membentuk spora sebagai bentuk resting cells. Pembentukan spora akan terjadi apabila nutrisi esensial yang diperlukan tidak memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan, prosesnya disebut sporulasi. Spora berbentuk elips atau oval, letaknya sentral dengan diameter tidak lebih dari diameter bakteri itu sendiri. Spora Bacillus anthracis ini tidak terbentuk pada jaringan atau darah binatang yang hidup, spora tersebut tumbuh dengan baik di tanah maupun pada eksudat atau jaringan hewan yang mati karena antrax.

. Di sinilah keistimewaan bakteri ini, apabila keadaan lingkungan sekitar menjadi baik kembali atau nutrisi esensial telah terpenuhi, spora akan berubah kembali menjadi bentuk bakteri. Spora – spora ini dapat terus bertahan hidup selama puluhan tahun dikarenakan sulit dirusak atau mati oleh pemanasan atau bahan kimia tertentu, sehingga bakteri tersebut bersifat dormant, hidup tapi tak berkembang biak.( Arda Dinata.)

III. Distribusi

Anthrax termasuk penyakit yang sudah lama sekali diketahui manusia. Penyakit ini tersebar di lima benua ( Afrika, Eropa, Asia dan Australia). Di Indonesia, anthrax pertama kali diberitakan oleh Javasche Courant terjadi pada kerbau di Teluk betung ( Sumatra ) tahun 1884. Berikutnya Koran Kolonial Verslag memberitakan anthrax di Buleleng ( Bali ), Rawas (Palembang) dan lampung pada tahun 1885. Pada tahun 1886, Koran yang sama memuat berita bahwa wabah penyakit anthrax di Banten, Padang-darat, Kalimantan Barat dan Timur dan Pulau Rote (NTT). Selama lebih dari 100 tahun , penyakit anthrax tidak pernah terjadi lagi di Bali, sehingga Bali dinyatakan sebagai daerah “bebas anthrax” sampai saat ini.

Menurut daerah penularannya, Antrax dibagi dalam tiga macam:

Antrax daerah pertanian (Agriculture Antrax) yaitu Antrax yang penularan dan kejadiannya berkisar di daerah-daerah pertanian saja. Antrax di Indonesia pada umumnya termasuk Antrax daerah pertanian.
Antrax daerah perindustrian (Industrial Antrax) yaitu Antrax yang terjadi di daerah atau kawasan industri yang menggunakan bahan baku berasal dari hewan atau hasil hewan seperti bahan-bahan yang terbuat dari kulit (tas, ikat pinggang, topi, alat musik), tulang (perhiasan, industri makanan ternak), daging (dendeng, abon dll), darah (campuran makanan ternak), tanduk (perhiasan, kerajinan dll) dan lain-lain.
Antrax yang terjadi di laboratorium yaitu infeksi hewan-hewan percobaan seperti tikus putih, marmut, kelinci, centrifugasi dll. Masa inkubasi penyakit Antrax bervariasi untuk Antrax tipe kulit 7 hari (rata-rata 1-5 hari), Antrax tipe intestinal (pencernaan) antara 2-5 hari dan Antrax tipe pernapasan (pulmonal) antara 1-5 hari (biasanya 3-4 hari).( Balipost ).

IV. A. Kejadian dan penyakit pada manusia

Infeksi pada manusia adalah korelasi dengan kejadian pennyakit pada domestic animal. Secara ekonomis di negara maju dimana hewan yang terkena anthrax telah terkendali ,dan hanya terjadi sekali-sekali pada manusia.

Anthrax pada manusia kebanyakan biasa terjadi di daerah enzootic yaitu di negara berkembang, pada masyarakat yang bekerja sebagai petani, orang yang memakan daging hewan terinfeksi atau bekerja di perusahaan dimana wol diproduksi. Kejadian penyakit pada manusia di negara berkembang tidak dapat diketahui karena tidak semua dokter bisa mendeteksinya.

Tiga jenis penularan anthrax di manusia

a. Inhalational anthrax

Anthrax dapat masuk tubuh melalui perut (proses pencernaan), paru-paru atau kulit (berkenaan dengan kulit) dan gejala-gejala penyebab klinis terpisah; jelas berdasar pada lokasi infeksi. Satu manusia yang terkena infeksi/tersebar akan secara umum dikarantina. Bagaimanapun, anthrax tidak biasanya menyebar dari satu manusia yang terinfeksi sampai manusia yang tidak terinfeksi. Tetapi jika penyakit itu pada tubuh maka berakibat fatal bagi orang tersebut dan koloni Bacillus anthracis menjadi suatu sumber yang potensial menginfeksi yang lain dan kehati – hatian harus digunakan untuk mencegah lebih lanjut pencemaran. Sayangnya inhalation anthrax, jika dihentikan terapinya hingga gejala – gejala yang timbul, akan mengakibatkan kematian. Anthrax dengan penanganan infeksi yang menyebar pada binatang atau wolnya, bakteri atau kecelakaan laboratorium.

Infeksi lewat jalur pernafasan (inhalation) pada awalnya terlihat dengan gejala – gejala seperti influenza atau untuk beberapa hari, yang diikuti oleh keparahan; sulit bernafas; batuk yang keras dan berat ( sering juga fatal) kolaps pernapasan. Inhalational anthrax sangat fatal, dengan mortalitas mendekati 100% .

Tingkat kematian (lethal level) dari anthrax dilaporkan diakibatkan oleh pernafasan (inhalation). Menghirup sekitar 10.000-20.000 spora menyebabkan terjadinya inhalation anthrax juga tergantung pada tingkat kepekaan dengan bukti bahwa sebagian orang meninggal dari kasus-kasus penyakit inhalation anthrax; ada bukti yang didokumentasikan untuk memverifikasi eksak atau rata-rata angka dari spora-spora.

b. Gastrointestinal (gastroenteric) anthrax

Infeksi gastrointestinal paling sering disebabkan oleh daging terinfeksi anthrax dan ditandai oleh kerusakan saluran gastrointestinal yang serius,seperti muntah darah, diare parah; sulit buang air besar;feses yang keras; radang akut saluran usus, dan hilangnya selera makan. Beberapa luka telah ditemukan di dalam perut dan di dalam mulut serta kerongkongan. Setelah bakteri masuk ke sistem usus, bakteri menyebar melalui aliran darah sepanjang tubuh, membuat lebih toksik lagi dalam perjalanan. Gastrointestinal anthrax dapat diterapi tetapi biasanya mengakibatkan daftar kematian dari 25% kepada 60%, tergantung bagaimana perawatan dimulai.

c. Cutaneus anthrax

Bentuk cutaneus anthrax menginfeksi sebagai luka kulit seperti bisul yang akhirnya membentuk borok dengan suatu centre (ie yang hitam, eschar). Eschar yang hitam sering kali muncul sebagai suatu, borok nekrotik tanpa rasa sakit (mulai sebagai luka kulit yang gatal atau lepuh yang gelap dan biasanya memusat sebagai suatu titik yang hitam, dari jumlah yang sedikit sampai banyak ) (seperti cetakan roti) di lapangan infeksi cutaneu anthrax secara umum membentuk di dalam lokasi dari penetrasi spora di dalam 2 sampai 5 hari setelah penginfeksian. Tidak seperti memar tetapi hampir semua luka-luka, infeksi anthrax jenis cutaneus secara normal tidak menyebabkan nyeri. Infeksi cutaneus anthrax adalah wujud sedikit fatal dari infeksi anthrax yang lain jika dilakukan terapi. Tetapi tanpa perawatan, kira-kira 20% dari semua kasus-kasus infeksi cutaneus anthrax terjadi toksemia dan kematian. Terapi anthrax jenis cutaneus, terkadang berakibat fatal (Anonim)

(perkembangan anthrax di dalam cavum mediastinum)

Anthrax bentuk gastrointestinal yang diakibatkan oleh penularan per os ditandai oleh nyeri abdominal, demam, septicemia dan umumnya diikuti kematian apabila tidak segera mendapat pengobatan.(Soeharsono.2002)

B. Kejadian dan penyakit pada hewan

Belum lama ini sebuah berita yang bersumber dari web koranindonesia.com KUPANG–MEDIA: Petugas medis dari Dinas Peternakan Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (3/11) menemukan antraks pada kambing di Desa Kolisia B, Kecamatan Magapanda. Sebelumnya antraks hanya ditemukan pada kerbau. Kepala Sub Dinas Peternakan dan Konservasi Sumber Daya Dinas Peternakan Sikka Vitalis Kanisius mengatakan, pihaknya menemukan enam ekor kambing mati di desa itu sejak dua hari terakhir. Selain itu ada satu warga tertular antraks dari kambing yang mati itu karena memakan dagingnya, warga yang terkena antraks itu timbul pada kulit (cutaneus) sehingga tidak berbahaya. Kecuali bila gejala antraks timbul di bagian perut.

Bagaimana Penularan Antraks pada hewan?

Utamanya, sumber penularan anthrax adalah hewan-hewan yang peka terhadap anthrax, seperti sapi, kambing, kerbau, domba, kuda, babi, burung unta serta hewan lain seperti tikus, marmut, mencit dan lainnya. Walau anjing dan hewan carnivora lainnya termasuk binatang rentan juga, tapi infeksi kuman anthrax jarang sekali terjadi pada hewan-hewan itu. Justru, infeksi anthrax dapat terjadi juga pada jenis burung, terutama burung unta. Biasanya antraks yang menyerang manusia, ketika orang tersebut membedah atau menyembelih hewan yang terinfeksi atau dapat pula ditularkan melalui produk-produk yang dihasilkan oleh hewan yang terinfeksi tersebut.

Gejala Antraks pada Hewan Ternak:

Hewan yang menderita antraks antara lain ditandai dengan demam tinggi, gelisah, sesak napas, kejang dan diikuti dengan kematian. “Gejala lainnya ialah darah segar keluar dari mulut, telinga dan dubur atau alat kelamin.”

Gejala Klinik pada hewan

Pada sapi, kerbau dan kuda umumnya anthrax bersifat akut atau perakut disertai septicemia. Oleh karena itu, kematian hewan secara mendadak, terutama jika terjadi didaerah endemic anthrax, tidak boleh langsung dilakukan autopsi, tetapi harus diyakinkan dahulu lewat pemeriksaan darah perifer( misalnya dari daun telinga) dan diberi pewarnaan cepat untuk memberikan gambaran sementara apakah anthrax atau bukan. Bila ada dugaan anthrax, bangkai harus segera di temukan darah yang berwarna hitam pekat yang sulit menggumpal keluar dari lubang ( anus , hidung,telinga). Sesaat sebelum hewan mati. Bangkai ternak yang mati oleh anthrax cepat membusuk.

Pada kuda, selain demam tinggi sering ditemukan pula oedema sub kutis di daerah pectoral, inguinal , scrotum dan bawah kepala. Beberapa kuda mengalami hiperhidrosis dan kolik. Gejala diare dapat ditemukan pada beberapa ekor hewan. Keparahan penyakit dipengaruhi status kekebalan hewan, jumlah spora yang menginfeksi dan virulensi bakteri yang menyerang.

Apabila penularan terjadi per os, bakteri anthrax akan masuk sistem limfatik dan menimbulkan limfangitis dan lymphadenityis yang kemudian menimbulkan septicemia. Bila bakteri masuk ke saluran pencernaan bagian tengah dan bawah akan menimbulkan enteritis ulceratie et haemorrhagica. Perkembangan bakteri anthrax dalam sistem limfatik relatif lambat, tetapi begitu masuk ke dalam aliran darah,bakteri ini berkembang dengan sangat cepat yang berlangsung terus sampai kematian. Kematian umumnya disebabkan oleh pengaruh prototoksin yang menimbulkan gangguan susunan syaraf pusat berupa kelumpuhan pusat respirasi dan mengakibatkan hipoksia.

C. Kejadian dan penyakit di Indonesia

Di Indonesia, anthrax mulai diamati pada tahun 1884, saat itu seekor kerbau tertular penyakit dengan gejala yang sangat mirip anthrax. Kasus selanjutnya tercatat tahun 1885-1886, 1899-1900, 1914 dan 1927. Hingga tahun 1930, penyakit ini banyak terjadi di berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa. Hingga tahun 1958, tercatat Sumatra, Kalimantan, Jawa, Madura, Nusa Tenggara dan Sulawesi menjadi daerah endemik anthrax (Anon. 1978).

Kejadian anthrax sering di laporkan dari berbagai tempat di Indonesia. Soemanagara (1958) menggambarkan penyebaran anthrax pada hewan antara 1906 – 1957 sebagai berikut :

Sumatera dan Kalimantan: Anthrax terjadi hampir di semua daerah dengan wabah tercatat tahun 1910 di Jambi dan Palembang, tahun 1914 di Padang, Bengkulu dan Palembang, tahun 1927 dan 1928 di Padang, Bukittinggi ( Sijunjung), Palembang dan Jambi, tahun 1930 di Sibolga (Gunung Situa), Palembang dan Medan (Pulau Kundur).
Jawa dan Madura : Di Pulau Jawa anthrax dilaporkan terjadi di Jakarta, Jawa Barat (Purwakarta, Bogor, Periangan, Banten, Cirebon) di Jawa tengah (Tegal, Pekalongan, Surakarta, Banyumas) dan Jawa Timur (Madiun dan Bojonegoro).
Nusa Tenggara Barat : Pulau Sumbawa (1931) dan Lombok (1933) dan (1956).
Nusa Tenggara Timur : Pulau Flores (1934, 1938 dan 1957) , Pulau Timor (1930), Pulau Rote (1922,1952 dan 1953).
Sulawesi : Di Pulau Sulawesi anthrax tersebar di Ujung Pandang, Watampone, Manado, Donggala dan Palu. Kejadian wabah dilaporkan di Watampone tahun 1930, 1931, 1932, 1938, 1940 dan 1945. Wabah anthrax yang menyerang hewan dan manusia di laporkan di Kecamatan Ngadu ngala , Kabupaten Sumba Timur (NTT) pada tahun 1980(Soeharsono, dkk, 1981). Antara kurun waktu 1980-1995 anthrax dilaporkan dari Irian, Boyolali dan Lombok. Pada awal tahun 2000 terjadi wabah anthrax pada peternakan burung onta di Purwakarta dan menimbulkan anthrax kulit pada beberapa orang yang menangani burung onta.(Soeharsono.2002)

Ada dua bentuk anthrax pada manusia di Indonesia, yakni bentuk kulit sebagai akibat penularan secara kontak dan bentuk intestinal sebagai akibat penularan per os. Di Australia ada penyakit anthrax bentuk respiratorik akibat penularan per inhalation spora anthrax lewat bulu-bulu domba yang terjadi pada tempat pemotongan bulu domba sehingga disebut wool sorter`s disease. (Soeharsono.2002)

V. Sumber Infeksi

Bacillus anthracis penyebab penyakit anthrax memiliki dua faktor virulen yaitu kapsul polimer asam G d-glutamat dan eksotoksin yang membantu invasinya pada inang. Peranan biokimiawi eksotoksin (faktor virulen ekstraseluler) yang terdiri dari antigen protektif/ Protective Agent (PA), faktor edema/ Eudema Factor (EF) dan faktor letal/ Lethal Factor (LF) dalam patogenesis anthrax. Dapat disimpulkan bahwa :

Molekul PA berperan sebagai kargo pembawa LF atau EF ke dalam sel inang. Faktor edema menyebabkan peningkatan kadar siklik adenosin mono fosfat (cAMP), sedangkan faktor letal menyebabkan pemutusan rantai molekul protein kinase dalam sel. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap virulensi Bacillus. anthracis.

Bagaimana toxin bakteri Factor Lethal menyebabkan keparahan penyebaran anthrax

Dimana molekul PA berperan sebagai chaperone dalam proses tersebut. Keterangan : PA : antigen protektif; EF : faktor edema; LF : faktor letal; ATP ; adenosin trifosfat; CaM : kalmodulin; AMPc : siklik adenosin monofosfat; MAPKKs : protein kinase yang diaktivasi oleh mitogen (Sumber : Mock dan Fauet, 2001).

Ekspresi virulensi molekul EF dan EF justru terjadi setelah mereka keluar dari endosom sel inang, saat itu kedua molekul ini berubah menjadi toksin edema dan toksin letal (Brossier dan Mock, 2001; Crammer dan Martinez, 2001).

Setelah di dalam sel, dengan aktivitas adenilat siklase yang dimilikinya, molekul EF bekerja dengan cara mengubah molekul ATP yang diikatnya menjadi siklik 3,5 adenosin monofosfat / c-AMP. Molekul C-AMP berperan sebagai pembawa pesan sekunder yang akana meneruskan pesan yang disampaikan dari molekul EF ke sistem enmzimatik intraseluler (Voet dan Voet, 1995; Duesberry dan Woude, 1999). Hasil akhir dari kerja molekul EF ialah edema seluler akibat perubahan gradien transmembran sel dan kebocoran seluler akibat insersi molekul PA (Gauthier dan Finlay, 2001). Pola serupa juga dilakukan oleh molekul LF yang mampu memotong sejenis protein kinase intraseluler (mitogen-activated protein kinases) yang berfungsi sebagai pembawa pesan ke dua di dalam sel (Mock dan Fouet, 2001), Akibatnya terjadi hipotensi, shock dan akhirnya kematian sel (Cunha, 2001).

Pengamatan in vitro menunjukkan bahwa untuk ekspersi sitotoksisitasnya, LF dan EF memerlukan proses sintesis protein yang kontinu dalam makrofag (Bhatnagar dan Friedlander, 1994). Fenomena ini juga ditunjang dengan pengamatan Tang dan Leppla (1999) yang menunjukkan diperlukannya suatu proteasom oleh toksin lethal untuk membunuh makrofag. Hal ini menyebabkan makrofag mensintesis bermacam-macam protein seperti interleukin 1 (IL-1) dan faktor nekrosis tumor alfa (TNF-a). Interleukin 1 diduga kuat menyebabkan kematian dan shock pada penderita (Hanna et al. 1993). Adanya peningkatan sekresi interleukin 6 dan TNF-a juga akan meningkatkan kadar c-AMP intraseluler, hal terakhir ini juga berperan menyebabkan shock dan kematian (Hoover et al. 1994).

Pengamatan in vitro juga menunjukkan tidak semua jenis makrofag peka terhadap toksin lethal anthrax. Makrofag yang mengalami defek tertentu saat menelan toksin letal justru resisten terhadap toksin tersebut (Friedlander et al. 1993). Kebocoran sel akibat pembentukan heptamer P-63 yang bertahan di membran sel, juga ikut menyebabkan kematian penderita anthrax (Zhao et al. 1995).(Iwan Haryono Utama).

Antrax juga mempunyai efek, free-roaming pada hewan buas. Dekomposisi sangat cepat dan karkas menjadi kembung. Hemoragi ditemukan pada organ dalam, hati, ginjal, dan nodus limfatikus mengalami kongesti. sphlenomelaghi selalu ditandai dengan pulp, berwarna merah, hitam, kehitaman, dengan konsistensi semifluid.

Tanah merupakan reservoir untuk agen infeksi. Proses infeksi oleh spora yang berada dalam tanah merupakan subjek kontroversi.

Siklus hidup spora dibawah kondisi lab (dalam kultur media) dalam tanah yang steril membutuhkan waktu yang lama. Bagaimanapun dibawah kondisi natural ini menunjukan kesempurnaan dalam batas yang sedikit tahun. Secara dari aktivitas saphropitic mikroba dalam tanah.

Isolasi Bacillus anthracis dari tanah atau air mengakibatkan epizootic. Ini diketahui dari beberapa hewan yang mati secara sporadic antrax. Pada manusia sumber infeksi awal dari hewan, hasil hewan yang terkontaminasi, dan pusat kontaminasi oleh spora.

Cutaneus antrax diikat oleh inokulasi selama proses dari kulit hewan, kontak dengan infeksi wool.

Transmisi dari hewan ke manusia sangat mungkin ke serangga sebagai vector.

Pulmonary(inhalation) antrax datang dari terhirupnya spora dari kontaminasi wool.

Sumber infeksi untuk bentuk gastrointestinal adalah domestic animal dan hewan liar yang mati karena infeksi anthrax.

Bentuk infeksi dari transmisi lain yaitu cutaneus karena gigitan serangga.

Peran dari hewan dalam epidemiologi dari penyakit:

à hewan merupakan essensial

à Antrax merupakan transmisi manusia oleh hewan atau produk ke hewan.

(Pan American Health Organization .2003)

VI. Cara penularan

Penularan anthrax dari hewan kepada manusia umumnya secara kontak langsung dengan hewan atau hasil hewan. Penularan anthrax melalui kontak pada kulit yang terluka akan menimbulkan anthrax kulit (cutaneus anthrax) dengan lesi khas. Di Australia, penularan anthrax secara per inhalation dapat terjadi, terutama pada pekerja penyortir bulu domba, sehingga penyakitnya disebut woolsorter`s disease. Penularan per os pernah terjadi di Indonesia, karena dilakukan pemotongan darurat ternak di rumah, kemudian daging ternak tersebut di buat sate tanpa pembakaran yang sempurna.

Penularan anthrax pada hewan umumnya terjadi per os, lewat makan atau air minum tercemar. Di daerah dengan sistem peternakan ekstensif seperti Sumba, Timor dan Flores ternak dalam jumlah besar menggunakan sumber air dan sumber makan yang sama sehingga sering menimbulkan kejadian wabah. Insekta penghisap darah seperti lalat Tabanus sp dan Stomoxis sp dapat bertindak sebagai penular secara mekanik, namun peranan insekta tersebut tidak begitu besar dalam kejadian wabah.(Anon.)

Anthrax – Wikipedia, the free encyclopedia.htm

Seseorang dapat tertular oleh penyakit Antraks dengan tiga cara :

Kontak langsung dengan bibit penyakit yang ada di tanah/rumput, hewan yang sakit,maupun bahan-bahan yang berasal dari hewan yang sakit seperti kulit, daging,tulang dan darah.
Bibit penyakit terhirup orang yang mengerjakan bulu hewan (domba dll) pada waktu mensortir. Penyakit dapat ditularkan melalui pernapasan bila seseorang menghirup spora Antraks.
Memakan daging hewan yang sakit atau produk asal hewan seperti dendeng, abon dll.

Karenanya ada empat tipe anthrax, yaitu anthrax kulit (cutaneus anthrax), pencernaan/anthrax usus (gastrointestinalis anthrax), pernapasan/anthrax paru (inhalation anthrax) dan anthrax otak. Anthrax otak terjadi jika bakteri terbawa darah masuk ke otak. Masa inkubasi anthrax kulit sekitar dua sampai lima hari. Mula-mula kulit gatal, kemudian melepuh yang jika pecah membentuk keropeng hitam di tengahnya. Di sekitar keropeng bengkak dan nyeri. Pada anthrax yang masuk tubuh dalam 24 jam sudah tampak tanda demam. Mual, muntah darah pada anthrax usus, batuk, sesak napas pada anthrax paru, sakit kepala dan kejang pada anthrax otak. Jika tak segera diobati bisa meninggal dalam waktu satu atau dua hari.(Anon.).

http://flupandemi.com/fp/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=1

VII. Diagnosis

Diagnosis, baik pada hewan maupun manusia, dapat ditegakkan berdasarkan epidemiologi (sejarah kejadian anthrax masa lalu, jenis hewan terserang, ada atau tidak adanya penularan ke manusia) dan gejala klinik. Peneguhan diagnosis dilakukan secara laboratorik dengan isolasi agen penyakit dan uji serologi FAT.

Pada manusia, spesimen untuk pemeriksaan laboratorik dapat diambil dari cairan vesikel, jaringan tubuh, darah (sewaktu septicemia) dan usapan langsung (direct smear) dari lesi kulit. Pewarnaan Giemza terhadap preparat usapan langsung perlu dilanjutkan dengan upaya isolasi bakteri karena dapat keliru dengan bakteri lain berbentuk batang, misalnya Bacillus subtilis. Pemeriksaan secara FAT yang mempunyai sensivitas dan ketetapan (sensivity and specifity) tinggi bisa dilakukan apabila menggunakan mikroskop fluorescence.

Pada hewan, spesimen dapat berupa darah perifer dari daun telinga yang diambil dengan jarum, kemudian diisapkan pada kertas saring, kapur tulis, atau kapas jika hewan masih hidup. Apabila hewan sudah mati, spesimen dapat diambil dari potongan daun telinga, cairan oedema, tulang, kulit dan bahan lain yang tercemar. Deteksi antigen dapat dilakukan dengan uji Ascoli

a. Diagnosis Banding

Pada kuda, adanya oedama di bawah kulit dapat keliru dengan dourine yang disebabkan oleh Trypanosoma equiperdum. Kematian mendadak pada sejumlah hewan besar perlu mempertimbangkan kemungkinan keracunan.

b. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Pada hewan, spesimen dapat berupa darah perifer dan daun telinga yang diambil dengan jarum, kemudian pada kertas saring, kapur tulis atau kapas, apabila hewan masih hidup. Apabila hewan sudah mati, spesimen dapat diambil dari daun telinga, cairan oedema, tulang, kulit dan bahan-bahan yang diduga tercemar seperti tanah.

Spesimen harus dimasukan ke dalam kontainer yang terkuat agar tidak pecah atau tumpah dalam perjalanan. Spesimen tidak boleh dikirimkan ke laboratorium yang terletak di daerah bebas anthrax, seperti BPPH wilayah VI Denpasar.(Soeharsono. 2002)

Speciment Cutaneus anthrax diperiksa secara Mikrobiologi dan Patologi untuk Diagnosis Spesimen-spesimen harus dikumpulkan dari setiap pasien yang sedang dievaluasi untuk infeksi cutaneus anthrax.

Diagnosis menurut CDC

I. Kain penyeka Luka:

A.. Dengan mengabaikan terjadinya luka,lalu mengumpulkan kain – kain penyeka yang terpisah yaitu :

Satu kain penyeka untuk Pewarna Gram dan kultur
Satu kain penyeka untuk Polymerase Chain Reaction (PCR)
Location/sampling yang spesifik kain penyeka itu akan bergantung pada langkah luka

Tahap efisiensi kelembaban: Aseptically (secara aseptis) mengumpulkan cairan efisiensi kelembaban mengeringkan kain penyeka dari gelembung-gelembung sebelumnya yang tak dibuka. Catatan: Anthrax bacilli paling mungkin untuk dilihat oleh Pewarna Gram di dalam tahap efisiensi kelembaban.

Eschar dikumpulkan : eschar material secara hati-hati diangkat pada tepi eschar yang luar itu; sisipkan guna mengeringkan kain penyeka, lalu pelan-pelan diputar selama 2-3 (detik/ barang bekas) di bawah tepi dari eschar tanpa pemindahan nya.

Borok: Jika tanpa gelembung atau eschar, kain penyeka dasar dari borok yang menggunakan suatu kain penyeka yang lembab (sebelumnya dilembabkan dengan larutan garam yang steril).

B. Spesimen-spesimen yang digunakan untuk pengkulturan dan PCR harus dikirimkan dalam suasana dingin, penyimpan dilakukan pada suhu 8°C; spesimen-spesimen untuk PCR hanya bisa dikirimkan dalam karbon dioksida dan disimpan pada suhu -70°C.

II. Biopsi

A. Suatu biopsi kulit harus diperoleh di setiap pasien dengan luka yang diduga mengalami cutaneus anthrax.

1. Jika pasien, memperoleh kekebalan penuh contoh biopsi dari papula atau gelembung dan termasuk kulit, masukkan ke dalam formalin 10% buffered untuk histopatologi dan immunohistochemistry (IHC).

2. Spesimen biopsi untuk kultur, Pewarnaan Gram, PCR dan membekukan jaringan/tisu IHC didapatkan jika pasien belum menerima antibiotik dalam 24 jam, untuk memperoleh kekebalan.

3. Jangan mencoba untuk merusak satu spesimen dari materi 2 dan 3 di atas,ataupun yang terpisah harus diperoleh.

4. Biopsi harus diambil dari kedua-duanya gelembung dan eschar.(Shieh.2003)

Shieh et al. Journal dari Amerika Pathology, Nov 2003, Vol 163,no. 5, Halaman 1908, Kolom 2.

B . Spesimen segar (tidak diformalin) harus disimpan dan dikirimkan setelah dibekukan secara CDC pada -70°C; jika terformalin harus dikirimkan pada suhu-kamar.

III. Serum (proses yang menggunakan BSL2 mempraktekkan)

A. Spesimen-spesimen serum yang akut perlu dikumpulkan dalam 7 hari gejala pertama atau sesegera mungkin setelah pengujian.

B. Meskipun hasil diagnosa didapatkan isolat Bacillus anthracis dari spesimen-spesimen klinis,berupa serum orang yang baru sembuh, 14-35 hari setelah gejala.

C. Kedua spesimen serum yang akut dan orang yang sembuh harus diperoleh dari sedikitnya 8 ml darah, 4 ml dari sera (laboratorium bisa menguji untuk etiologi potensial yang ganda).

D. Serum terpisah dari gumpalan darah, sera perlu dibekukan dengan segera pada suhu -20°C atau lebih dingin, harus dikirimkan dalam keadaan beku dan disimpan pada karbon dioksida secara CDC, di dalam botol kecil bertutup sekrup plastik sewajarnya memberi label.

E. Jangan mengirimkan botol-botol biakan darah atau darah utuh.

F. Penggunaan yang sesuai secara komersial tersedia Immunetics QuickELISA™ Anthrax-PA Kit:

1. Immunetics Kit itu harus dipertimbangkan suatu test serologi penyaringan primer.

2. Test ini menghasilkan suatu hasil /negative yang positif; oleh karena itu setiap sera yang dipasangkan yang menghasilkan yang manapun.

“ – /+ reaksi (acute/convalescent) atau + /+ reaksi harus dikirim kepada CDC untuk konfirmasi dan pengukuran-pengukuran ELISA kwantitatif.

“ - /reaction (acute/convalescent) atau + /reaction tidak memerlukan konfirmasi.

IV. Darah

A. Jika pasien mempunyai bukti dari gejala sistemik, spesimen-spesimen untuk biakan darah harus diperoleh. Kumpulkan volume darah yang sesuai dan nomor yang di-set per protokol laboratorium rumah sakit lokal.

B. Kumpulkan 10 darah ml di EDTA (tabung-tabung bertutup ungu) untuk PCR. (Anon.)

Zoonosi\CDC – A Two-Component Direct Fluorescent-Antibody Assay for Rapid Identification of Bacillus anthracis.html

VIII. Pencegahan dan pengendalian
A. di Indonesia

Untuk daerah bebas, pencegahan dilakukan melalui tindakan karantina berupa pelarangan masuknya hewan dari tertular ke daerah bebas. Sebagai contoh, hewan dan asal hewan dari NTB dan NTT tidak diperbolehkan masuk ke Bali.

Di daerah tertular pencegahan hanya dilakukan pada hewan dengan menggunakan vaksin. Vaksin yang digunakan adalah vaksin spora (aktif) namun virulen. Di Indonesia, vaksin untuk hewan diproduksi oleh Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA) di Surabaya. Vaksinasi tidak diizinkan pada daerah bebas anthrax

Dalam jumlah terbatas, vaksin anthrax digunakan pada orang, yakni tentara yang bertugas dalam perang, misalnya tentara Amerika sewaktu Perang Teluk.

Pengendalian penyakit dilakukan apabila terjadi kejadian penyakit dengan tujuan melokalisasi penyebaran. Penutupan daerah – daerah dari lalu – lintas ternak peka anthrax untuk sementara dan melakukan tindakan pengobatan terhadap ternak yang terserang. Penutupan daerah dilakukan oleh pemerintah Daerah setempat atas rekomendasi dari Dinas Peternakan. Pemberantasan anthrax di daerah endemic sulit dilaksanakan karena sifat Bacillus anthracis amat tahan terhadap lingkungan. Pemberantasan sangat mungkin dilaksanakan apabila kejadian tersebut di daerah baru dan bersifat lokal.

Pengobatan anthrax dapat dilakukan dengan antibiotika seperti penisilin dan oksitetrasiklin apabila penyakit masih dalam tahap awal. Pada masa lalu, pengobatan antrax pada hewan disamping diberi antibiotika juga diberi antiserum. Antiserum Anthrax pernah diproduksi oleh Lembaga Penelitian Penyakit Hewan(sekarang Balai Penelitian Veteriner) diBogor.

B. di Luar Negeri

Berdasarkan data dari beberapa tahun, epidemic menjangkit dan terjadi berlanjut-lanjut meskipun tersedianya tindakan pencegahan yang baik untuk hewan yang terkena anthrax dan manusia itu sendiri. Ada beberapa daerah hiperendemic, seperti di Haiti di mana wanita di afrika terinfeksi setelah memperoleh beberapa drum dari kulit domba. Himpunan data pada Negara dengan tingkat insidensi tinggi untuk human anthrax terjadi di utara, human anthrax terjadi di utara Peninsula, les cayes yang populasinya sekitar 5000.000 jiwa dari 1973 sampai 1977, 1587 kasus telah dicatat di 31 klinik di daerah itu.(La Force, 1978).

Di zambia, sekitar 30 orang mati karena anthrax yaitu pada tahun 1992. Bagian timur Nigeria adalah daerah dengan tingkat insidensi paling tinggi karena human anthrax (Okolo, 1985). Pada perbatasan antara Thailand, Myanmar dan Laos yaitu pada hewan campuran yang berpindah dari India, yang menyebar dengan frekuensi kejadian tinggi. Di salah satu desa Thai, beberapa dari sekitar 200 inhabitants (penghuni) berpartisipasi dalam pemotongan kerbau yang mendukung penurunan, 8 diantaranya menjadi sakit, dan 1 mati dengan gejala suspect anthrax. Di Negara bagian di timur Algeria, 6 kasus dari anthrax terjadi dan meluas ke 59 anggota keluarga yang menyebabkan sakit yang dirasakan berpartisipasi pada penyembelihan domba dengan gejala termasuk hemoragi , darah hitam dan spelonomegaly 14 hewan dari berbagai spesies ruminansia telah mati sebelum ada catatan khusus.

Di daerah enzootic, penyakit ini biasanya bersifat endemic sporadic dengan penyebaran epidemic. Kemudian pertama kali disebabkan oleh ingesta dari daging, sering pada banyak orang , dari hewan yang telah mati atau sekarat karena anthrax. Pada 1987 di daerah Republik Mali terdapat 84 kasus dengan 19 kematian. Kematian tertinggi dimungkinkan karena intestinal anthrax, yang dapat dijumpai juga di Senegal 1957,dengan 237 kematian, 254 kasus.

Tahun 1979 epidemic menyebar di Sverdlovsk, di pertanian Uni Soviet, yang jadi kontroversi diantara Negara USA. Berdasarkan pada pertanian Uni soviet, kurang lebih 40 orang meninggal karena gastric anthrax epidemic ini. Sumber dari US intelligence mengklaim bahwa beberapa ratus orang mati akibat pulmonary anthrax dalam waktu kurang dari seminggu. Kemudian sumber Soviet mengindikasikan total 96 kejadian, 79 terinfeksi oleh intestinal dan tidak ada kasus pulmonary. Sverdlosk adalah lokasi enzootic. (Marshall.1988).

Pengamanan bioterorisme.

Selama tahun 1998, lebih dari dua lusin ancaman anthrax terjadi di AS. Tidak ada satupun dari ancaman ini terjadi. Prosedur umum di AS untuk menangani ancaman ini adalah :

1). Siapapun yang menerima ancaman penyebaran anthrax, segera melaporkan kepada FBI (Federal Bureau of Investigation).

2). Di AS, FBI bertanggung jawab penuh untuk melakukan investigasi terhadap ancaman senjata biologis dan lembaga lain harus bekerja sama memberikan bantuan jika diminta oleh FBI.

3). Departemen kesehatan negara bagian dan Dinas Kesehatan setempat sebaiknya juga di beritahu jika ada ancaman ini dan siap memberikan bantuan dan tindak lanjut yang mungkin diperlukan.

4). Orang yang terinfeksi anthrax tidak menular, sehingga tidak perlu dikarantina.

5). Orang yang mungkin terinfeksi, sebaiknya di sarankan menunggu hasil laboratorium dan tidak perlu diberi chemoprofilakcis. Jika mereka menjadi sakit sebelum hasil tes laboratorium selesai, mereka harus segera menghubungi Dinas Kesehatan setempat dan segera ke Rumah Sakit yang ditunjuk untuk mendapatkan perawatan gawat darurat, dan mereka harus memberi tahukan kepada petugas medis bahwa ia kemungkinan terinfeksi anthrax.

6). Jika penderita terbukti terinfeksi anthrax yang ditularkan melalui udara, penderita harus segera mendapat pengobatan profilaktic pasca infeksi dengan antibiotik yang tepat (fluorokinolon adalah obat pilihan dan doksisiklin adalah obat alternatif) dan vaksin. Imunisasi pasca infeksi dengan vaksin bebas sel yang tidak aktif di indikasikan sebagai tindak lanjut pemberian Chemoprofilakcis sesudah suatu insiden biologis. Imunisasi direkomendasikan karena kita tidak tahu apakah spora yang terhirup akan berkembang biak atau tidak. Imunisasi pasca infeksi terdiri dari tiga suntikan :

sesegera mungkin sesudah terinfeksi dan pada minggu ke 2 dan ke 4 sesudahnya. Terhadap vaksin ini belum dilakukan evaluasi efektifitas dan keamanannya bagi anak-anak kurang dari 18 tahun dan orang dewasa berusia 60 tahun atau lebih.

7). Setiap orang harus mengikuti petunjuk teknis yang diberikan jika menghadapi ancaman biologis

8). Setiap orang dapat dilindungi dari spora anthrax dengan menggunakan jubah pelindung, sarung tangan dan respirator yang menutupi seluruh muka dengan filter yang memiliki efektifitas tinggi terhadap partikel udara “High-efficiency Particle Air” – (HEPA), filter (level C) atau perlengkapan pernafasan “Self-Contained Breathing Apparatus” (SCBA) (level B)

9). Orang yang terpajan dan kemungkinan besar terkontaminasi sebaiknya di dekontaminasi dengan menggunakan sabun dan dibilas dengan air mengalir dalam jumlah yang banyak. Biasanya larutan klorin tidak diperlukan. Cairan klorin rumah tangga dengan perbandingan 1 : 10 (konsentrasi hipoklorit 0,5%) digunakan bila terjadi kontaminasi luas dan bahan yang terkontaminasi ini tidak bisa dibersihkan dengan air dan sabun. Melakukan dekontaminasi dengan klorin hanya direkomendasikan sesudah dilakukan dekontaminasi dengan air dan sabun, dan larutan klorin ini harus dibersihkan sesudah 10 hingga 15 menit.

10). Semua orang yang di dekontaminasi harus melepaskan pakaian dan barang-barang mereka dan memasukkannya ke dalam tas plastik, yang di beri keterangan yang jelas, berisi nama pemilik barang, nomer telpon yang bisa dihubungi, dan keterangan tentang isi tas plastik tersebut. Barang-barang ini akan di simpan sebagai barang bukti terhadap kemungkinan adanya tindakan kriminal dan barang ini akan dikembalikan kepada pemiliknya bila ancaman ini tidak terbukti.

11). Jika paket atau amplop yang dicurigai berisi anthrax dalam keadaan tertutup (tidak terbuka), mereka yang menemukan amplop ini sebaiknya tidak melakukan apapun selain menghubungi FBI. Upaya karantina, evakuasi, dekontaminasi dan kemoprofilaksis sebaiknya tidak dilakukan bila amplop atau paket dalam keadaan tertutup. Untuk kejadian yang disebabkan oleh surat yang mungkin terkontaminasi, lingkungan yang kontak langsung dengan surat tersebut harus di dekontaminasi dengan larutan hipoklorit 0,5 % sesudah dilakukan investigasi terhadap kemungkinan adanya tindakan kriminal. Barang-barang pribadi juga perlu didekontaminasi dengan cara yang sama.

12). Bantuan teknis dapat diberikan segera dengan menghubungi “National Response Center” di 800-424-8802 atau “Weapon of Mass Destruction Coordinator FBI” setempat.(I Nyoman Kandun.2000)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.http://dombagarut.blogspot.com/2007/11/antraks-pada-hewan-ternak.html

Anonim.http://flupandemi.com/fp/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=1

Anonim http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=13

Anonim http://www.litbang.depkes.go.id/lokaciamis/artikel/sporaBachillus-arda.htm

Anonim http://www.wikipedia.com/anthrax.html

Anonim Zoonosi\CDC – A Two-Component Direct Fluorescent-Antibody Assay for Rapid Identification of Bacillus anthracis.html

Anonim http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/10/31/ink1.html

Anonim http://gsbs.utmb.edu/microbook/ch015.htm

Anonimhttp://www.brown.edu/Courses/Bio_160/Projects2000/Anthrax/patholoy.html

Anonimhttp://www.wiley.com/legacy/college/boyer/0470003790/cutting_edge/anthrax/anthrax.htm :

Agus Sjahrurachman .Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : Indonesia

Boston, MA 02114-2696 Children And Antrax : A fact Sheet For Clinicion, Nov 7 Th, 2001, U.S Deparrtment Of Health and Human Services, CDC, Atlanta.

Departement of Medicine, Bullfinch 127, Massachusetts Generak HospitL, 55Fruit St,

Laporan Tahunan Hasil Peyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun 1983-1984.1985.Direktorat Kesehatan Hewan : Jakarta.

Schnurrenberger, Paul, R and William, T, Hubbert. 1991. Ikhtisar Zoonosis. Penerbit ITB : Bandung

Seddon, H,R. 1965. Disease of Domestic Animal in Australia part 5 Bacterial Diseases Volume I.Department Of Health. Commonwalth Of Australia.

Soedarto. 2003. Zoonosis Kedokteran. Airlangga University Press: Surabaya.

Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius : Yogyakarta.

Subronto. Ilmu Penyakit Ternak (mamalia)I. Gadjah Mada Univesity Press: Yogyakarta.
Sumber Halaman 19-26 2000.Pemberantasan Penyakit Menular James Chin, MD, MPH Editor Editor Penterjemah : Dr. I NYOMAN

Related Post :